“Saya mencita-citakan, Umat Islam Indonesia menjadi umat
beragama yang berpandangan luas. Mampu memahami orang lain. Menumpahkan
kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak. Menjunjung tinggi kebebasan
sebagai sarana demokrasi”
(Gus Dur, Desember 1990)
Pendidikan,
jika ditelusuri secara etimologi, berasal dari kata didik. Menurut KBBI, pengertian didik adalah
sinonim dengan kata ayom,
emban, latih dan
abdi. Kesemuanya merujuk kepada pengertian untuk mengarahkan
anak agar mempunyai jiwa yang ditunjuk kata-kata di atas (1999: 356). Jika kata
didik deberi awalan pen
dan akhiran an,
maka dalam kamus tersebut bermakna suatu proses, yaitu proses pengayoman,
proses pengembanan, proses pelatihan atau proses pengabdian. Karena ia adalah
proses, maka dibutuhkan suatu perjalanan panjang dan berliku, penuh onak dan
duri untuk menuju pada kesempurnaan hidup. Itulah hakikat pendidikan,
sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Djumhur, 1972: 134) adalah
proses memanusiakan manusia kecil (anak) agar dapat, sebagaimana al-Qur’an
bilang, menjadi rahmatal lil
‘alamin. Atau dalam bahasa Pancasilanya; menjadi manusia seutuhnya,
yaitu cerdas lahir dan juga cerdas dalam segi batinnya.
“Lembaga Pendidikan Ma’arif
macam MI, MTS dan MA adalah benteng pertahanan untuk mengcover arus pemikiran yang menyimpang dari
tuntunan syariat”. Begitu kira-kira penggalan
kalimat yang meluncur dari salah satu Kyai di Ponpes Al Ihya
Ulumudin Kesugihan Cilacap saat penulis nyantri silam yang terus saja
terngiang ditelinga penulis.
Sebuah harapan sekaligus tanggungjawab besar yang harus dipikul
para Ulama dan lembaga pendidikan Islam, termasuk MI Ma’arif, MTS Ma’arif dan
MA Ma’arif se-Indonesia. Lembaga pendidikan Ma’arif dituntut mendidik
dan melahirkan pemikir-pemikir serta
tokoh intelektual muslim (para Ulama) yang militan untuk
mengawal misi suci
tersebut. Suatu keniscayaan intelektual muslim adalah mereka yang
memiliki pemikiran progresif-inovatif ke
belakang dan ke
depan tanpa meninggalkan
pemikiran-pemikiran klasik sebelumnya
sebagaimana kaidah fiqh "al muhafadhatu „ala al
qadimi al shalih wa al alkhdzu bi
al jadidi al ashlah".
Kalau dirujuk
lebih lanjut, tanpa
mengesampingkan peranan lembaga
pendidikan Islam lainnya, Ma’arif mempunyai
tugas dan peran
yang lebih besar
dalam rangka membentuk anak didik
yang bercorak pemikiran
berimbang, hasil perpaduan
pemikiran modern dan klasik.
Argumentasinya antara lain
disebabkan karena kajian-kajian
klasik yang bersifat dinamis
lebih banyak berkisar
pada kajian-kajian syariah
macam usul fiqh, fiqh,
dan sejenisnya. Didukung
problematika yang muncul
dilapangan didominasi hal-hal yang berhubungan dengan syariat, baik
ubudiyah maupun muamalah. Demikian juga hasil-hasil pemikiran ulama
klasik yang banyak
dikodifikasi dalam kitab-kitab
kuning adalah yang ber-term
syariat.
Masyarakat
kita saat ini sedang gelisah akan kesemerawutan, kebutahurufan dan
kejahiliaan kehidupan berbangsa. Dalam skala besar dan universal Lembaga
Pendidikan Ma’arif NU adalah mewujudkan masyarakat yang berbudaya dalam
membentuk masyarakat yang cerdas dan
berkarakter. Hal ini sejalan dengan muatan dasar konsep
pendidikan islam "ta'dib" jamaknya udab) yang berarti berbudaya,
berperilaku halus dan
berpendidikan. Muhammad N. Al-Attas menyebutkan bahwa ta'dib itu lebih relevan dalam
pendidikan islam daripada ta'lim
atau tarbiyah, karena ta'dib mengisyaratkan kualitas kemanusiaan yang
memiliki kompetensi intelektual dan spiritual.
Lembaga
Pendidikan Ma’arif di Indonesia merupakan implementasi dan kontekstualisasi cultur
pendidikan pesantren. Di mana pesantren adalah central pendidikan umat manusia
yang komprehensif. Tujuan pendidikan yang termaktup dalam UUD 1945 adalah
mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Pesantren
merupakan warisan pendidikan islam yang sifatnya masih konservatif dan hampir steril
dari ilmu-ilmu modern.
Pesantren adalah sistem
pendidikan yang tumbuh dan lahir
dari budaya indonesia yang bersifat
indegenous. Sudah sepatutnya lembaga inilah yang
seharusnya dilirik kembali sebagai model
dasar pengembangan konsep
pendidikan indonesia. Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di
depan dan akhiran an berarti tempat
tinggal para santri
(Geertz, 1983). Sedangkan
asal-usul santri berasal
dari santri, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek
huruf.
Pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia
sebagimana adanya konsensus para
peneliti sejarah pendidikan di
Negeri yang berpenduduk muslim terbesar
di dunia. Pada mulanya
pesantren didirikan oleh penyebar
Islam sehingga kehadiran pesantren
diyakini mengiringi dakwah Islam
di Negeri ini, kendati
bentuk sistem pendidikannya
belum selengkap sekarang.
Pada dataran substansif
pesantren telah berdiri
pada awal masa
Islam di Indonesia,
tetapi pada dataran bentuk
mengalami transformasi yang sangat signifikan (Mujamil Qomar).
NU
sebagai cikal bakal lahirnya Lembaga Pendidikan Ma’arif. NU jika dilirik secara
bahasa (lughawi)
adalah dari susunan mudhaf wa
mudhaf alaihi, yang diambil dari akar kata nahadla dan ‘alima. Akar kata partama
mempunyai arti berdiri, bangkit.
Kemudian akar kata tersebut diturunkan menjadi an-nahdlatu sehingga menjadi kebangkitan, pergerakan.
Adapun arti kata dasar yang ke dua adalah ilmu,
pengetahuan. Kemudian menjadi jamak
taktsir sehingga menjadi ulama’
yang berarti orang-orang yang
mempunyai ilmu dan berpengetahuan luas (al-Munawir, 1984: 1037,
1468-9).
Adapun
pengertian dari istilah yang biasa dipahami, Nahdlatul Ulama adalah sebuah
organisasi yang didirikan oleh para ulama untuk membangkitkan kesadaran umat
Islam dalam upaya menjaga dan memelihara syaria’ah Islam yang berhaluan paham
ahlu sunnah wal jamaah dan menganut salah satu madzhab yang empat di
tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia
(Ensiklopedi Islam III, 2001: 345, Suryanegara, 1996: 28, Thoha, 1994: 24).
Memperhatikan
pengertian yang terkandung dalam istilah di atas, sangat logis jika kemudian
para ulama itu menamakan organiasasi yang didirikannya dengan nama Nahdlatul
Ulama (NU). Nama ini sarat dengan makna filosofis dan sangat mengakar di
tengah-tengah masyarat muslim Indonesia tradisionalis dari dulu sampai saat
ini. Ada femeo yang berkembang bahwa umat Islam tidak dapat dikatakan beragama
yang baik jika mereka tidak dikatakan orang NU, walaupun dalam aplikasi
keseharian mereka kadang jauh dari ajaran NU.
Jika NU
lahir dari dorongan adanya konstelasi politik saat itu, baik yang bersifat
nasional, misalnya penindasan rezim kolonial Belanda, ataupun bersifat
internasional, yaitu lenyapnya khalifah Utsmaniyah Turki dan penguasaan kaum
Wahabi atas kota Makkah dan Madinah, kemudian paham itu menyebar ke Indonesia.
Maka berbeda dengan latar belakang hadirnya LP Ma’arif NU yang murni
dilatarbelakangi oleh keadaan pendidikan umat Islam, utamanya keadaan
pendidikan umat Islam tradisional yang berbasis pesantren dan tidak
terkoordinasi dengan baik.
Suatu
hal yang amat mendesak untuk segera direspon setelah adanya NU adalah
mendirikan divisi pendidikan yang terorganisir dengan baik tetapi tetap berada
dalam naungan NU. Hal seperti itu, di samping menandingi dan menanggapi
pendirian lembaga pendidikan yang mengusung paham pembaruan sebagaimana
dimotori para kaum Muslim Modernis, yang sudah melenceng dari haluan Aswaja dan
tidak lagi berpatokan pada madzhab yang empat. Ditambah lagi, untuk merespon
pendirian pendidikan missi zending yang disubsidi oleh kolonial Belanda. Juga
hal pendorong utama LP Ma’arif didirikan adalah untuk memberikan pengajaran
yang bersifat modern dengan memasukkan ilmu-ilmu keduniaan (fardhu kifayah) kepada
generasi muda NU dengan tetap mempertahankan paham Aswaja.
Para
tokoh NU memandang bahwa untuk menyeimbangkan pemahaman generasi penerus NU
terhadap kehidupan ini sangat dibutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu, yang
dikatakan sebagian orang dengan sebutan ilmu sekuler (Feillard, 1999: 276).
Jika untuk kemaslahatan umat, mengapa ilmu-ilmu itu harus dijauhi. Tentu, jika
ilmu-ilmu itu tidak dipelajari maka umat Islam, khususnya generasi NU, semakain
jauh tertinggal. Sementara umat-umat yang lain berada di garis depan menguasai
berbagai segi kehidupan (Sardar, 1993: 43).
LP
Ma’arif mencapai puncak ketenarannya waktu Subcha ZE (w 1972) memimpin
(Bruinesssen, 1999: 78). Subchan sebagai pemuda yang mencuat lewat aksi-aksi
anti Komunis di era 1960-an, berhasil menjadi tokoh nasional pada usia 32 tahun
(Aula. Juni 1991: 59-60). Ia membentuk komando aksi penggayangan Gestapu
(KAP-Gestapu) (Bruinessen, 1999: 86). Dalam masanya LP Ma’arif merasa
diuntungkan karena posisi Subchan yang dekat dengan berbagai kalangan di puncak
pemerintahan waktu itu. Ia dekat dengan kalangan meliter, utamanya petingginya,
A.H Nasution. Sikapnya yang luwes, gaya bicaranya yang mempesona dan kuatan
argumentasinya yang jitu, Subchan telah membawa LP Ma’arif menjadi lebih
dikenal di luar NU. Ia mendekatkan para fungsionaris LP Ma’arif pada realitas
dan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Rupanya ia berhasil mengatur
kurikulum di lingkungan LP Ma’arif lebih integritas, yang lebih sesuai dengan
hakikat ilmu dalam Islam (Daud, 2003: 163-188).
Cukup
disayangkan, akibat konflik NU dengan rezim Soeharto di era 1970-an, akhirnya
kondisi departemen Agama yang sejak masa kemerdekaan dipegang oleh Ulama NU,
lepas dari genggamannya, yang pada masa terakhir itu dipimpin oleh K.H.
Syaifuddin Zuhri (Bruenessen, 1999:80). Lepasnya departemen ini dari genggaman
NU berimplikasi amat besar kepada institusi NU dan juga LP Ma’arif itu sendiri.
Maka bulan madu antara NU, sebagai atasan LP Ma’arif, dengan pemerintah cq.
Departemen Agama, akhirnya buyar sama sekali. Kebijakan pemerintah yang
berpihak pada NU sebelum departemen ini jatuh pada kaum Muslim modernis,
akhirnya putus. Nuansa ke-NU-an yang sangat kental pada era Orde Lama (ORLA)
yang diterapkan pada madrasah atau sekolah yang dikelola oleh departemen Agama
dan madrasah-madrasah swasta, oleh Ahmad Mukti Ali, pengganti K.H. Syaifuddin
Zuhri, dihilangkan sama sekali. NU dan LP Ma’arifnya termarginalkan.
Lembaga-lembaga pendidikan dibawah NU memperoleh perlakuan diskriminatif. Kesan
ini sepertinya terus-menerus berlangsung sepanjang rezim Orde Baru (ORBA)
berkuasa (Feillard, 1999:304). Baru kemudian kesan itu hilang setelah
reformasi bergulir 21 Mei 1998.
Akibat
dari perlakuan diskriminatif ini sekolah-sekolah menyembunyikan keterkaitan
mereka dengan NU. Saat itu, tidak lagi terdengar istilah madrasah ibtida’iyah
NU (MINU), sekolah dasar NU (SDNU), madrasah tsanawiyah NU (MTSNU), sekolah
menengah NU (SMPNU/SMANU). Mereka menggunakan nama-nama yang kurang mencolok,
seperti sekolah “Wahid Hasyim”, nama mantan menteri Agama. Dengan alasan yang
sama, pada tahun 1972, Universitas NU di Malang diberi nama Universitas Sunan
Giri, nama salah seorang walisanga (Feillard, 1999:304).
Pengelolaan
yang tidak baik dan pemusatan konsentrasi pada aktifitas politik juga menjadi
penyebab lambannya sistem pendidikan NU. LP Ma’arif sebagai divisi pendidikan
NU sejak awal tahun 1970-an sudah mengkhawatirkan penyusutan anggotanya. Pada
masa itu, 30% sekolah telah menarik diri dari LP Ma’arif.
Pada
tahun 1984, dalam upayanya untuk mendapatkan kembali sekolah yang hilang atau
bersembunyi dibalik nama pinjaman, LP Ma’arif mengeluarkan peraturan baru yang
meminta sekolah-sekolah yang sealiran dengan NU agar dengan jelas menyatakan
identitas dan kembali mendaftarkan diri ke LP Ma’arif. Permintaan ini hingga
tahun 1987, tidak begitu membuahkan hasil, dan ini membawa akibat yang sangat
buruk bagi usaha mendapatkan dana yang diperlukan untuk mengurusi
sekolah-sekolah NU. Namun pada tahun 1991, beberapa pengurus pendidikan di
daerah melihat madrasah-madrasah mulai mendaftarkan diri ke LP Ma’arif dan nama
NU mulai muncul kembali di papan nama yang dipasang di depan sekolah
masing-masing (Feillard, 1999:305). Pada era itu pula, sekolah-sekolah di bawah
NU kembali dilirik masyarakat muslim dan siswa yang masukpun mengalami kenaikan
cukup baik. Demikian pula perguruan tinggi dibawah NU bertambah banyak
dibangun. Di Malang ada Universitas Islam Malang (Unisma), di Bandung ada
Universitas Islam Bandung (Unisba), di Jember ada Universitas Islam Jember
(UIJ), dan di Madura ada Universitas Islam Madura (UIM). Semua ini menandakan
perkembangan yang semakin baik dalam LP Ma’arif hingga masa reformasi ini.
Memperhatikan
sejarah perkembangan LP Ma’arif NU yang penulis bahas di atas, dari tahun ke
tahun NU berusaha semaksimal mungkin untuk mencerdaskan anak bangsa, utamanya
anak-anak generasi Islam di Indonesia ini. Berbagai wadah pendidikan dari
tingkat dasar sampai pada tingkat tertinggi, telah NU hadirkan di tengah-tengah
umat dengan LP Ma’arifnya.