Rabu, 05 Februari 2014

Pendidikan Ma’arif; Cerdas, Islami dan Berbudaya



Oleh : Gunawan, S.Pd.I.[1]
“Saya mencita-citakan, Umat Islam Indonesia menjadi umat beragama yang berpandangan luas. Mampu memahami orang lain. Menumpahkan kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak. Menjunjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi”
(Gus Dur, Desember 1990)

Pendidikan, jika ditelusuri secara etimologi, berasal dari kata didik. Menurut KBBI, pengertian didik adalah sinonim dengan kata ayom, emban, latih dan abdi. Kesemuanya merujuk kepada pengertian untuk mengarahkan  anak agar mempunyai jiwa yang ditunjuk kata-kata di atas (1999: 356). Jika kata didik deberi awalan pen dan akhiran an, maka dalam kamus tersebut bermakna suatu proses, yaitu proses pengayoman, proses pengembanan, proses pelatihan atau proses pengabdian. Karena ia adalah proses, maka dibutuhkan suatu perjalanan panjang dan berliku, penuh onak dan duri untuk menuju pada kesempurnaan hidup. Itulah hakikat pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Djumhur, 1972: 134) adalah proses memanusiakan manusia kecil (anak) agar dapat, sebagaimana al-Qur’an bilang, menjadi rahmatal lil ‘alamin. Atau dalam bahasa Pancasilanya; menjadi manusia seutuhnya, yaitu cerdas lahir dan juga cerdas dalam segi batinnya.
“Lembaga Pendidikan Ma’arif macam MI, MTS dan MA adalah benteng pertahanan untuk  mengcover arus pemikiran yang menyimpang dari tuntunan syariat”. Begitu kira-kira  penggalan  kalimat  yang  meluncur dari salah satu Kyai di Ponpes Al Ihya Ulumudin Kesugihan Cilacap saat penulis nyantri silam yang terus saja terngiang  ditelinga  penulis.  Sebuah  harapan  sekaligus tanggungjawab besar yang harus dipikul para Ulama dan lembaga pendidikan Islam, termasuk MI Ma’arif, MTS Ma’arif dan MA Ma’arif se-Indonesia. Lembaga pendidikan Ma’arif dituntut  mendidik  dan  melahirkan  pemikir-pemikir  serta  tokoh  intelektual  muslim (para Ulama) yang militan  untuk  mengawal  misi  suci  tersebut. Suatu keniscayaan intelektual muslim adalah mereka yang memiliki pemikiran  progresif-inovatif  ke  belakang  dan  ke  depan  tanpa  meninggalkan  pemikiran-pemikiran  klasik  sebelumnya  sebagaimana  kaidah  fiqh  "al muhafadhatu „ala  al  qadimi  al shalih wa al alkhdzu bi al jadidi al ashlah".
Kalau  dirujuk  lebih  lanjut,  tanpa  mengesampingkan  peranan lembaga pendidikan Islam lainnya, Ma’arif mempunyai  tugas  dan  peran  yang  lebih  besar  dalam  rangka membentuk anak didik yang  bercorak  pemikiran  berimbang,  hasil  perpaduan  pemikiran modern  dan  klasik.  Argumentasinya  antara  lain  disebabkan  karena  kajian-kajian  klasik yang  bersifat  dinamis  lebih  banyak  berkisar  pada  kajian-kajian  syariah  macam  usul  fiqh, fiqh,  dan  sejenisnya.  Didukung  problematika  yang  muncul  dilapangan  didominasi  hal-hal yang berhubungan dengan syariat, baik ubudiyah maupun muamalah. Demikian juga hasil-hasil pemikiran  ulama  klasik  yang  banyak  dikodifikasi  dalam  kitab-kitab  kuning  adalah yang ber-term  syariat.
Masyarakat kita saat ini sedang  gelisah  akan kesemerawutan, kebutahurufan dan kejahiliaan kehidupan berbangsa. Dalam skala besar dan universal Lembaga Pendidikan Ma’arif NU adalah mewujudkan masyarakat yang berbudaya dalam membentuk masyarakat  yang  cerdas dan  berkarakter. Hal ini sejalan dengan muatan dasar  konsep  pendidikan islam "ta'dib"  jamaknya udab) yang  berarti  berbudaya,  berperilaku  halus dan berpendidikan. Muhammad N. Al-Attas menyebutkan bahwa ta'dib itu lebih relevan dalam  pendidikan  islam  daripada  ta'lim  atau  tarbiyah,  karena  ta'dib  mengisyaratkan kualitas kemanusiaan yang memiliki kompetensi intelektual dan spiritual.
Lembaga Pendidikan Ma’arif di Indonesia merupakan implementasi dan kontekstualisasi cultur pendidikan pesantren. Di mana pesantren adalah central pendidikan  umat  manusia yang komprehensif. Tujuan pendidikan yang termaktup dalam UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Pesantren merupakan warisan pendidikan islam yang sifatnya masih  konservatif dan hampir  steril  dari  ilmu-ilmu  modern.  Pesantren  adalah  sistem  pendidikan  yang tumbuh dan lahir dari budaya indonesia yang bersifat  indegenous. Sudah sepatutnya lembaga inilah  yang  seharusnya dilirik  kembali  sebagai model  dasar  pengembangan konsep pendidikan indonesia. Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat  tinggal  para  santri  (Geertz,  1983).  Sedangkan  asal-usul  santri  berasal  dari santri, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf.
Pesantren  merupakan  lembaga  pendidikan  Islam  tertua  di  Indonesia  sebagimana adanya  konsensus  para  peneliti sejarah  pendidikan di Negeri  yang  berpenduduk muslim  terbesar  di  dunia. Pada  mulanya  pesantren didirikan  oleh  penyebar  Islam sehingga  kehadiran  pesantren  diyakini  mengiringi  dakwah Islam  di  Negeri  ini, kendati  bentuk  sistem  pendidikannya  belum  selengkap  sekarang.  Pada dataran substansif  pesantren  telah  berdiri  pada  awal  masa  Islam  di  Indonesia,  tetapi  pada dataran bentuk mengalami transformasi yang sangat signifikan (Mujamil Qomar).
NU sebagai cikal bakal lahirnya Lembaga Pendidikan Ma’arif. NU jika dilirik secara bahasa (lughawi) adalah dari susunan mudhaf wa mudhaf alaihi, yang diambil dari akar kata nahadla dan ‘alima. Akar kata partama mempunyai arti berdiri, bangkit. Kemudian akar kata tersebut diturunkan menjadi an-nahdlatu sehingga menjadi kebangkitan, pergerakan. Adapun arti kata dasar yang ke dua adalah ilmu, pengetahuan. Kemudian menjadi jamak taktsir sehingga menjadi ulama’ yang berarti orang-orang yang mempunyai ilmu dan berpengetahuan luas (al-Munawir, 1984: 1037, 1468-9).
Adapun pengertian dari istilah yang biasa dipahami, Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dalam upaya menjaga dan memelihara syaria’ah Islam yang berhaluan paham ahlu sunnah wal jamaah dan menganut salah satu madzhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia (Ensiklopedi Islam III, 2001: 345, Suryanegara, 1996: 28, Thoha, 1994: 24).
Memperhatikan pengertian yang terkandung dalam istilah di atas, sangat logis jika kemudian para ulama itu menamakan organiasasi yang didirikannya dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Nama ini sarat dengan makna filosofis dan sangat mengakar di tengah-tengah masyarat muslim Indonesia tradisionalis dari dulu sampai saat ini. Ada femeo yang berkembang bahwa umat Islam tidak dapat dikatakan beragama yang baik jika mereka tidak dikatakan orang NU, walaupun dalam aplikasi keseharian mereka kadang jauh dari ajaran NU.
Jika NU lahir dari dorongan adanya konstelasi politik saat itu, baik yang bersifat nasional, misalnya penindasan rezim kolonial Belanda, ataupun bersifat internasional, yaitu lenyapnya khalifah Utsmaniyah Turki dan penguasaan kaum Wahabi atas kota Makkah dan Madinah, kemudian paham itu menyebar ke Indonesia. Maka berbeda dengan latar belakang hadirnya LP Ma’arif NU yang murni dilatarbelakangi oleh keadaan pendidikan umat Islam, utamanya keadaan pendidikan umat Islam tradisional yang berbasis pesantren dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Suatu hal yang amat mendesak untuk segera direspon setelah adanya NU adalah mendirikan divisi pendidikan yang terorganisir dengan baik tetapi tetap berada dalam naungan NU. Hal seperti itu, di samping menandingi dan menanggapi pendirian lembaga pendidikan yang mengusung paham pembaruan sebagaimana dimotori para kaum Muslim Modernis, yang sudah melenceng dari haluan Aswaja dan tidak lagi berpatokan pada madzhab yang empat. Ditambah lagi, untuk merespon pendirian pendidikan missi zending yang disubsidi oleh kolonial Belanda. Juga hal pendorong utama LP Ma’arif didirikan adalah untuk memberikan pengajaran yang bersifat modern dengan memasukkan ilmu-ilmu keduniaan (fardhu kifayah) kepada generasi muda NU dengan tetap mempertahankan paham Aswaja.
Para tokoh NU memandang bahwa untuk menyeimbangkan pemahaman generasi penerus NU terhadap kehidupan ini sangat dibutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu, yang dikatakan sebagian orang dengan sebutan ilmu sekuler (Feillard, 1999: 276). Jika untuk kemaslahatan umat, mengapa ilmu-ilmu itu harus dijauhi. Tentu, jika ilmu-ilmu itu tidak dipelajari maka umat Islam, khususnya generasi NU, semakain jauh tertinggal. Sementara umat-umat yang lain berada di garis depan menguasai berbagai segi kehidupan (Sardar, 1993: 43).
LP Ma’arif mencapai puncak ketenarannya waktu Subcha ZE (w 1972) memimpin (Bruinesssen, 1999: 78). Subchan sebagai pemuda yang mencuat lewat aksi-aksi anti Komunis di era 1960-an, berhasil menjadi tokoh nasional pada usia 32 tahun (Aula. Juni 1991: 59-60). Ia membentuk komando aksi penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu) (Bruinessen, 1999: 86). Dalam masanya LP Ma’arif merasa diuntungkan karena posisi Subchan yang dekat dengan berbagai kalangan di puncak pemerintahan waktu itu. Ia dekat dengan kalangan meliter, utamanya petingginya, A.H Nasution. Sikapnya yang luwes, gaya bicaranya yang mempesona dan kuatan argumentasinya yang jitu, Subchan telah membawa LP Ma’arif menjadi lebih dikenal di luar NU. Ia mendekatkan para fungsionaris LP Ma’arif pada realitas dan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Rupanya ia berhasil mengatur kurikulum di lingkungan LP Ma’arif lebih integritas, yang lebih sesuai dengan hakikat ilmu dalam Islam (Daud, 2003: 163-188).
Cukup disayangkan, akibat konflik NU dengan rezim Soeharto di era 1970-an, akhirnya kondisi departemen Agama yang sejak masa kemerdekaan dipegang oleh Ulama NU, lepas dari genggamannya, yang pada masa terakhir itu dipimpin oleh K.H. Syaifuddin Zuhri (Bruenessen, 1999:80). Lepasnya departemen ini dari genggaman NU berimplikasi amat besar kepada institusi NU dan juga LP Ma’arif itu sendiri. Maka bulan madu antara NU, sebagai atasan LP Ma’arif, dengan pemerintah cq. Departemen Agama, akhirnya buyar sama sekali. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada NU sebelum departemen ini jatuh pada kaum Muslim modernis, akhirnya putus. Nuansa ke-NU-an yang sangat kental pada era Orde Lama (ORLA) yang diterapkan pada madrasah atau sekolah yang dikelola oleh departemen Agama dan madrasah-madrasah swasta, oleh Ahmad Mukti Ali, pengganti K.H. Syaifuddin Zuhri, dihilangkan sama sekali. NU dan LP Ma’arifnya termarginalkan. Lembaga-lembaga pendidikan dibawah NU memperoleh perlakuan diskriminatif. Kesan ini sepertinya terus-menerus berlangsung sepanjang rezim Orde Baru (ORBA)  berkuasa (Feillard, 1999:304). Baru kemudian kesan itu hilang setelah reformasi bergulir 21 Mei 1998.
Akibat dari perlakuan diskriminatif ini sekolah-sekolah menyembunyikan keterkaitan mereka dengan NU. Saat itu, tidak lagi terdengar istilah madrasah ibtida’iyah NU (MINU), sekolah dasar NU (SDNU), madrasah tsanawiyah NU (MTSNU), sekolah menengah NU (SMPNU/SMANU). Mereka menggunakan nama-nama yang kurang mencolok, seperti sekolah “Wahid Hasyim”, nama mantan menteri Agama. Dengan alasan yang sama, pada tahun 1972, Universitas NU di Malang diberi nama Universitas Sunan Giri, nama salah seorang walisanga (Feillard, 1999:304).
Pengelolaan yang tidak baik dan pemusatan konsentrasi pada aktifitas politik juga menjadi penyebab lambannya sistem pendidikan NU. LP Ma’arif sebagai divisi pendidikan NU sejak awal tahun 1970-an sudah mengkhawatirkan penyusutan anggotanya. Pada masa itu, 30% sekolah telah menarik diri dari LP Ma’arif.
Pada tahun 1984, dalam upayanya untuk mendapatkan kembali sekolah yang hilang atau bersembunyi dibalik nama pinjaman, LP Ma’arif mengeluarkan peraturan baru yang meminta sekolah-sekolah yang sealiran dengan NU agar dengan jelas menyatakan identitas dan kembali mendaftarkan diri ke LP Ma’arif. Permintaan ini hingga tahun 1987, tidak begitu membuahkan hasil, dan ini membawa akibat yang sangat buruk bagi usaha mendapatkan dana yang diperlukan untuk mengurusi sekolah-sekolah NU. Namun pada tahun 1991, beberapa pengurus pendidikan di daerah melihat madrasah-madrasah mulai mendaftarkan diri ke LP Ma’arif dan nama NU mulai muncul kembali di papan nama yang dipasang di depan sekolah masing-masing (Feillard, 1999:305). Pada era itu pula, sekolah-sekolah di bawah NU kembali dilirik masyarakat muslim dan siswa yang masukpun mengalami kenaikan cukup baik. Demikian pula perguruan tinggi dibawah NU bertambah banyak dibangun. Di Malang ada Universitas Islam Malang (Unisma), di Bandung ada Universitas Islam Bandung (Unisba), di Jember ada Universitas Islam Jember (UIJ), dan di Madura ada Universitas Islam Madura (UIM). Semua ini menandakan perkembangan yang semakin baik dalam LP Ma’arif hingga masa reformasi ini.
Memperhatikan sejarah perkembangan LP Ma’arif NU yang penulis bahas di atas, dari tahun ke tahun NU berusaha semaksimal mungkin untuk mencerdaskan anak bangsa, utamanya anak-anak generasi Islam di Indonesia ini. Berbagai wadah pendidikan dari tingkat dasar sampai pada tingkat tertinggi, telah NU hadirkan di tengah-tengah umat dengan LP Ma’arifnya.





[1] Penulis adalah alumni Popes Al Ihya Ulumudin Kesugihan Cilacap, Aktivis GP Anshor Kebumen, Pegiat Lkis-NU (Lembaga Kajian Islam Nusantara) Kebumen, sekarang sebagai kepala sekolah MTS Plus Ma’arif Gombong.

Tidak ada komentar: